Sensasi Mencekam si Kulit Tebal
MERAWAT BUAYA --- Jemari sudah terbiasa merawat buaya di Taman Buaya Asam Kumbang, Medan. Walau berkulit tebal, buaya sangatlah peka terhadap belaian. Di taman tersebut dipelihara 2.400 ekor buaya.
SEEKOR itik dilemparkan ke tengah kolam. Ia tampak begitu bergembira berenang dan bermain air, memasukkan dan mengeluarkan kepalanya dalam air. la tidak sadar, dari berbagai penjuru kolam buaya-buaya besar sedang adu cepat berenang ke arahnya, tanpa suara.
SESAAT kemudian, sekali sambar itik tersebut sudah berada di dalam mulut salah seekor buaya. Ia mati tanpa sempat mengeluarkan suara sedikit pun. Kolam kembali tenang.
Beberapa saat kemudian seekor buaya memunculkan kepalanya di atas air, dengan itik di mulutnya. Seekor buaya lain mendekat, mencoba merebut itik tersebut dari mulutnya. Setelah berkelahi sebentar ia menyingkir mencari tempat aman untuk menyelesaikan santap siangnya.
Itulah adegan memberi makan buaya yang bisa disaksikan di Taman Buaya Asam Kumbang, Medan, tepatnya di Kecamatan Sunggal. Untuk bisa menyaksikan adegan tersebut Anda harus memberi seekor itik yang disediakan di tempat itu seharga Rp 15.000. Untuk masuk dan melihat-lihat buaya, Anda cukup membayar Rp 3.000 dan anak-anak Rp 1.500.
Taman Buaya seluas 2 hektar ini memang salah satu tempat hiburan bagi warga Medan. Tempat ini unik karena menjadikan makhluk seseram buaya sebagai tontonan mengasyikkan.
Dengan koleksi 2.400 ekor buaya dari berbagai usia, Taman Buaya bahkan layak disebut Dunia Buaya.
Pada kolam utama, Anda bisa melihat buaya yang sunguh-sungguh besar, panjangnya sekitar 5 meter. Di sana memang disebutkan terdapat 2.400 ekor buaya. Namun, bila Anda hanya menghitung ekornya, mungkin tidak sampai 2.400. Banyak buaya sudah tidak berekor lagi, putus dimakan lawannya saat berkelahi.
BINATANG melata ini memang gemar berkelahi dan punya sifat kanibal. Jadi tidak aneh ada juga buaya di Taman Buaya ini yang tidak punya moncong. Ini juga salah satu yang digemari pengunjung, melihat buaya tidak lengkap. Tampaknya , naluri primitif manusia tersalurkan ketika melihat buaya itu saling melukai, atau ketika buaya itu menyabet mengsanya.
Di Taman Buaya ini buaya-buaya dikelompokkan menurut umur. Umumnya, satu kolam terdiri dari buaya-buaya yang usianya kira-kira sama. Hanya buaya berumur lima tahun ke atas yang dipamerkan. Buaya balita (bawah lima tahun) mudah stres dan lalu mati sehingga ditempatkan di tempat khusus dan tidak boleh dilihat pengunjung.
Buaya berumur lima sampai enam betas tahun diletakkan berkelompok menurut umur dalam bak-bak terbuka dari semen berukuran sekitar 4 x 4 meter dengan tinggi dinding sekitar 1,3 meter.
"Buaya ini kan kanibal. Yang besar akan memakan yang kecil kalau dicampur," jelas Jemari (32), perawat buaya, kepada Kompas di sela-sela kesibukannya mengurus buaya.
Setiap bak berisi antara 15 sampai 30 ekor buaya, tergantung besar buaya. Luas baknya pun tidak semua sama, tergantung ukuran buaya di dalamnya. Sementara itu, yang berumur di atas 16 tahun ke atas dibiarkan lepas di kolam terbuka yang dikelilingi pagar besi. Jika beruntung, Anda bisa melihat buaya besar dengan panjang lebih dari lima meter sedang berkelahi di kolam berebut makanan dan air pun bermuncratan ke udara tinggi-tinggi.
KARENA mereka memang peliharaan di tempat tertutup, para buaya ini tidaklah mencari makan sendiri. Buaya-buaya ini diberi makan sehari satu kali, setiap pukul 16:30 WIB. Makanannya berupa bangkai ayam, telur-telur yang tidak berhasil menetas, serta anak ayam yang tidak laku dari berbagai peternakan dan penetasan ayam di Medan.
Menurut Tham Muk (73), pemilik Taman Buaya tersebut, sehari rata-rata Rp 500.000 harus dikeluarkan untuk memberi makan buaya-buaya ini. Padahal, pendapatan dari pengunjung setiap harinya kurang dari itu.
ATRAKSI BUAYA - Di Taman Buaya Asam Kumbang, Medan, pertunjukan khusus menampilkan kera yang mengambil pisang dari mulut buaya. Atraksi lain adalah berfoto bersama buaya.
Pada hari libur pengunjung memang bisa mencapai 500 orang lebih, tetapi pada hari biasa jumlah pengunjung tidaklah tentu. Apalagi sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997.
Kadang-kadang hanya sepuluh orang yang datang ke taman ini. Maka sering kali kami memberi makan buaya seadanya dengan uang kami juga," ujar Tham Muk.
Selain sekadar menyaksikan buaya di kolam, pengunjung Taman Buaya pada saat-saat tertentu bisa menyaksikan peragaan khusus antara lain atraksi buaya dengan monyet serta berfoto bersama buaya.
Dengan membayar Rp 20.000 sudah cukup untuk menyaksikan monyet yang dengan berani mengambil pisang dari mulut buaya bahkan memakai mulutnya sendiri.
Selain itu, Anda juga dapat berpose duduk di atas punggung seekor buaya layaknya Jaka Tingkir. Dengan demikian, Anda dapat mengamati dari dekat, meraba dan mengelus-elus buaya yang sangat ditakuti ini.
Untuk menutup biaya pemeliharaan, sebenarnya Tham Muk bermaksud menjual buaya-buaya tersebut. Juga, itulah tujuan awal dia beternak buaya. Rupanya nasib belum berpihak padanya. Pada masa Orde Baru, Departemen Perdagangan melarangnya menjual buaya dengan alasan termasuk binatang langka.
"Yang boleh menjual orang-orang tertentu saja yang dekat penguasa," katanya.
Sekarang sudah tidak ada larangan, tetapi pembeli tidak ada. "Kemarin orang Jakarta ada yang menawar Rp 300.000 untuk buaya berumur lima tahun. Terlalu murah itu. Untuk biaya perawatan selama lima tahun saja uang itu tidaklah cukup," katanya.
Alhasil, sejak tahun 1959 saat mulai beternak buaya sampai sekarang Tham Muk belum pernah berhasil menjual ternaknya. Untuk merawat dan memberi makan buaya-buayanya, ia hanya mengandalkan uang masuk para pengunjung.
TIDAK BERLIDAH --- Buaya ternyata tidak punya lidah. Benda yang disebut lidah pada mulutnya adalah semacam klep yang mencegah air masuk ke dalam perut saat menyelam. BUAYA di Indonesia (Crocodyliade porosus) ternyata tidak punya lidah. Penamaan menggunakan kata lidah buaya, seperti tanaman lidah buaya adalah sekadar nama.
Yang disebut lidah buaya adalah segumpal daging yang menyatu dengan rongga mulut bagian bawah dan membentuk klep di rongga mulut. Sekilas akan terlihat mulut buaya rapat, tidak berlubang. Klep ini berfungsi supaya perut buaya tidak kemasukan air saat menyelam.
Mitos lain yang juga sering menjadi pembicaraan orang adalah "air mata buaya". Ungkapan ini sering ditujukan kepada orang yang tampak menangis padahal cuma berpura-pura sedih.
Kenyataannya, buaya memang sering tampak menangis terutama sehabis makan besar. Jadi, ungkapan ini dibuat orang saat menyaksikan buaya memakan mangsanya lalu menangis. Sang buaya sendiri yang membunuh mangsanya kok lalu bersedih. Barangkali itu maksud ungkapan "air mata buaya" tersebut.
Keistimewaan lain, binatang melata ini punya selaput mata yang fungsinya sebagai pelindung. Selaput ini bekerja seperti wiper pada mobil, yaitu menyeka bila ada kotoran yang mengganggu pandangan.
Selain itu, hidung buaya pun bisa dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan sang pemilik agar saat berenang air tidak masuk ke dalam paru-parunya. Namun, yang paling menarik adalah kenyataan kulit buaya sangatlah peka walau tebal. la akan kegelian dan menggerakkan kakinya kalau kita garuk perlahan di sela-sela lekukan kulitnya.
WALAU kelihatan rakus saat diberi makan, buaya sebenarnya punya nafsu makan yang tidak konstan. Jika hari hujan, nafsu makan buaya biasanya sangat tinggi.
Buaya betina punya pola makan lebih aneh lagi. Sehabis bertelur, is sedikit sekali makan. Ia cenderung menjadi pendiam dan sangat galak. Buaya betina akan terus menjaga telur-telurnya sampai menetas. Padahal, telur buaya baru menetas setelah tiga bulan. Bahkan, dua minggu pertama setelah bertelur biasanya induk buaya sama sekali tidak makan. "Lagi prihatin, takut telumya dicuri mungkin," kata Jemari.
Masa bertelur buaya biasanya sekitar bulan Desember, atau di tengah musim hujan daerah tropis seperti Indonesia ini. Seperti penyu, telur buaya ditimbun di dalam tanah hingga membentuk gundukan tanah setinggi kurang lebih 30 sentimeter. Pengunjung Taman Buaya yang datang antara bulan Desember sampai Maret, biasanya bisa menyaksikan induk buaya yang sedang menjaga gundukan tanah berisi telur-telurmya.
SATU yang sering dilupakan orang adalah merawat buaya itu yang sungguh berbahaya. Salah satu pawang di Tannan Buaya Asam Kumbang, yaitu Jemari (32), punya pengalaman sangat mencekam.
Suatu sore itu Jemari yang baru tiga bulan bekerja di Taman Buaya, sedang membawa telur-telur untuk makan buaya. Ia berjalan jauh ke dalam ke semak-semak di tepian kolam menggunakan troli. Ia sendirian saja, karena temannya kebetulan tidak masuk.
Ia tidak tahu penciuman buaya sangat tajam, terutama terhadap telur tidak menetas yang dibawanya. Di tambah lagi, rupanya buaya-buaya tersebut sudah cukup lama memendam rasa lapar.
Tanpa disadarinya, beberapa buaya bergerak mendekatinya tanpa bersuara. Tiba-tiba saja dia sudah dikepung puluhan buaya dari segala penjuru, hanya berjarak dua meter darinya. "Saya takut sekali," tuturnya pada Kompas bulan lalu.
Tanpa pikir panjang, dilemparkannya telur-telur itu ke arah buaya paling besar dan paling dekat sambil berteriak "Allahu Akbar!"
Buaya paling besar tersebut terkejut dan lari menabrak buaya-buaya lain yang lebih kecil sehingga semuanya terkejut dan kabur. "Saking takutnya saya terdiam beberapa saat," katanya.
Itulah pengalaman sehari-hari Jemari merawat buaya di Taman Buaya Asam Kumbang. Pemuda asal Kutoarjo ini sudah 11 tahun menggeluti kehidupan makanan buaya dengan ember dari luar bak. Tiba-tiba saja seekor buaya meloncat menyambar kepalanya. Secara refleks Jemari menangkis dengan ember. Jadilah ember plastik di tangannya koyak digigit buaya. "Saat itu sedang hujan, jadi buaya-buaya itu lebih bernafsu makan," tuturnya.
MERAWAT buaya, selain berbahaya ternyata tidak gampang. Buaya yang masih kecil sangat mudah stres dan mati. Karena itu harus dirawat sangat hati-hati, dan ditempatkan terisolasi di tempat yang sunyi, tidak boleh dilihat pengunjung. Buaya kecil ini juga mudah terkena penyakit, salah satunya kulit mengelupas. "Semacam kudis pada manusia, dan mudah menular," kata Jemari.
Masa kritis lain adalah saat penetasan telur. Setiap musim bertelur, pengecekan ke sekeliling kolam harus terus dilakukan. Telur-telur yang ada dalam tanah tersebut harus berada dalam kondisi bagus, tidak boleh terlalu lembab. Jika gundukan tanah buatan induk buaya kurang bagus, terlalu tipis, maka Jemari harus memperbaikinya, menebalkan, dan menambah rumput.
Saat telur-telur menetas, untuk keluar dari tanah sering kali bayi-bayi buaya harus dibantu dikeluarkan dari cangkang telurnya. Selanjutnya, langsung dipindahkan ke bak-bak khusus.
Tentu saja pekerjaan merawat eraman telur dan memindahkan bayi buaya yang baru menetas ini paling berbahaya karena harus berhadapan dengan induk buaya yang sedang galak-galaknya.
Sekalipun penuh bahaya, pemuda tamatan SMP Negeri I Batumarka, Palembang ini mengaku menyukai pekerjaannya. "Awalnya memang takut, tetapi lama-kelamaan senang juga. Ada perasaan bangga bisa mempelajari kehidupan binatang langka ini," katanya.
Berapa gaji merawat buaya? "Rahasia," kata Jemari singkat. (p09)
Kompas,
Minggu, 11/03/01
Kamis, September 24, 2009
Shopping Cart Chair
MIDI Control
MIDI Control
Music equipment language isn't just for audio anymore
Peter Kim | Make Vol. 07- 2006 | Pdf | 8 pgs | 4 mb
For centuries, musical notation has served as a common language among musicians- it was designed so that, for example, monks in France would sing the same melody as monks in Rome. But as the popularity of digital musical instruments grew throughout the 1980s, musicians found that their equipment lacked a common language.
There was no way to perform simple tasks like using one keyboard to play sounds on another, or to use a computer to record and edit what you were playing. The Musical Instrument Digital Interface (MIDI) was developed as a solution to this problem, and today, it's become a standard for the vast majority of music hardware and software. Its usefulness doesn't end there, however. The same structure that makes MIDI compatible with various music products can make it useful any time you need to send and receive messages for control.
Backyard Biology
Selasa, September 22, 2009
Penny-Powered LED
Real-Time Cameras: A Guide for Game Designers and Developers
Real-Time Cameras: A Guide for Game Designers and Developers
Mark Haigh-Hutchinson | Pdf | 530 pgs | 3 mb
Video games and other interactive real-time applications are often
required to present a view of a virtual world in a manner that is both
contextually appropriate and aesthetically pleasing. The internal
mechanism responsible for this process is colloquially known as a
virtual camera system. As the main avenue through which the viewer
interacts with the virtual world, the effectiveness of the camera system
at presenting such a view has a major infl uence on the viewer’s satisfaction
and enjoyment of the experience. A poorly implemented camera
system will likely cripple the application to such an extent that
excellence in graphical presentation or interactive mechanics may be
insuffi cient to overcome it. A brief perusal of video game reviews, for
example, will reveal common problems such as poor framing, cameras
passing through environmental features, and so forth. These recognized
problems will have a negative effect on the rating that the
game receives. On the other hand, a well-designed camera system —
one that presents the virtual world in an unobtrusive and easy to
understand manner — allows a great interactive design to become
fully realized. In light of this, it is surprising that there is so little
information available to the designers and implementers of interactive
camera systems.
Real-Time Cameras is aimed at expanding the knowledge of designers
and programmers regarding this crucial yet often overlooked topic.
While there is common ground between traditional cinematography
techniques and virtual camera systems (especially, of course, with
respect to non-interactive movie sequences), the dynamically changing
nature of video games and other interactive real-time applications
demands different approaches and solutions. Interactive application
design lags behind traditional movie making in that the underlying
principles of real-time camera design are still in their formative process.
However, enough information is now available to establish a set
of ground rules that should apply regardless of the genre or presentation
style.
Langganan:
Postingan (Atom)