Kompas, Sabtu, 2 Mei 2009
Selama ini singkong identik dengan makanan orang ndeso, jauh dari kesan "Wah", sehingga sering disepelekan. Naman, di tangan Febri Triyanto (27) dan teman-temannya, umbi tanaman khas tropis bernama Inggris cassava itu berubah menjadi ladang emas yang menjanjikan.
Melalui usaha Tela Tela, singkong diolah menjadi kudapan dengan berbagai jenis rasa, mirip kentang goreng yang hadir di tiap restoran cepat saji. Dalam waktu empat tahun, Tela Tela menjadi merek waralaba populer, yang tersebar di 182 kota, dari Banda Aceh hingga Papua, dengan 1.650 gerai.
Dengan harga jual satu pak Rp 3.000-Rp 6.000, omzet usaha ini Rp 2,5 miliar-Rp 3 miliar per bulan. Tenaga kerja yang terserap sekitar 3.500 orang. Tak mengherankan bila Febri terpilih menjadi salah satu Wirausaha Muda Terbaik 2008-2009 pada Dji Sam Soe Award.
Febri bersama Eko Yulianto, Ashari Tamimi, dan Fath Aulia Muhammad memulai usaha Tela Tela pada September 2005. Saat itu, Febri dan Eko, yang bersaudara kandung, mencari usaha yang bisa mengatasi masalah keuangan keluarga mereka. "Waktu itu ibu kami terlilit utang. Berbagai usaha kami coba, mulai ngasih les anak SD, membuka warnet dan warung bubur kacang ijo. Hasilnya tidak mencukupi," kata Febri di kantor pusat Tela Tela di Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (26/4).
Bersama dua teman kuliah Eko, yaitu Ashari dan Fath, empat anak muda ini menjual singkong goreng. "Kami coba buat singkong goreng dengan potongan kecil yang lebih praktis," kata Febri. Mereka mengajukan pinjaman Rp 3,5 juta ke bank, untuk membuat gerobak dan perlengkapan lainnya.
Pertama berjualan di lingkungan Kampus Universitas Gadjah Mada. Pembeli, yang kebanyakan mahasiswa, memberi respons positif. Namun, mereka tidak lama berjualan di sana karena diusir satpam kampus.
Febri lalu memindahkan dagangan di dekat rumahnya, yang berada di lingkungan kos-kosan mahasiswa di Tambak Bayan, Caturtunggal, Depok, Sleman.
Peluang mengembangkan usaha datang saat mendapat tawaran ikut Atmajaya Expo 2005 di Yogyakarta. "Dari situ, kami sukses besar, bisa menjual 4-5 kuintal singkong dalam lima hari. Selain itu, banyak yang ingin ikut berbisnis Tela Tela. Namun, saat itu kami belum mengenal sistem franchise," kata Febri.
Setelah Atma Jaya Expo, Febri mulai menata usahanya, antara lain dengan mendesain kemasan dan gerobak, selain mulai mengadopsi sistem waralaba.
Setiap orang yang berminat membuka usaha Tela Tela cukup menyediakan modal Rp 12 juta untuk dua gerai. Selanjutnya, para agen mesti menyetorkan tiga persen dari omzet kotor tiap gerai per bulan.
Pengolahan produk dilakukan para agen dengan bumbu yang disediakan Tela Tela, "Mereka terlebih dahulu mengikuti pelatihan dari kami," kata Febri. Salah satunya, tentang seluk-beluk singkong yang bisa diolah untuk Tela Tela.
"Harus jenis singkong ketan dan baru dicabut," katanya. Untuk urusan singkong, pasokan diperoleh dari Kecamatan Kalasan dan Tempel di Sleman, sebanyak 5 kuintal per hari untuk 52 gerai yang ada di Yogyakarta.
Kini, Febri dan teman-temannya memimpikan bisa membawa Tela Tela go international. "Kami sudah menerima banyak aplikasi, seperti dari Kamboja dan Malaysia. Karena birokrasi berbelit-belit, maka belum bisa direalisasikan," tuturnya.
Mimpi lain adalah menembus pasar ritel modern. Untuk itu, mereka harus terus mengembangkan diri dan berinovasi terhadap semua aspek bisnis, terutama produk strategi pemasaran, dan pelayanan pelanggan.
"Kalau berhenti berinovasi, jangankan berkembang, bisa-bisa bisnis tidak berumur panjang," katanya. (MOHAMAD FINAL DAENG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar