KEKHAWATIRAN produk tanaman rekayasa genetika atau tanaman transgenik (genetically engineered/modified foods) akan merusak lingkungan saat ini masih kontroversial di negara-negara maju. Padahal justru negara-negara berkembanglah yang akan dirugikan, kalau terbukti tanaman transgenik mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia karena lemahnya peraturan yang ada. Saat ini tanaman transgenik seperti kedelai, jagung, padi-padian, dan kapas, banyak ditanam di negara-negara berkembang.
Sudah diketahui bahwa Revolusi Hijau yang berlangsung global 1960an-1990an secara nyata meningkatkan produksi biji-bijian, meski itu dibayar cukup mahal dengan penggunaan pupuk nitrogen tujuh kali lebih tinggi dan meningkatnya penggunaan pestisida akibat kenaikan populasi hama pada lahan yang monokultur. Kerusakan lingkungan sebagai akibat peningkatan pemakaian pupuk nitrogen seperti naiknya pemanasan global, berkurangnya lapisan ozon, dan gangguan asap, dapat dicari jalan keluamya karena problemnya jelas dan teramati dalam jangka pendek.
Namun, pengaruh negatif makanan dari tanaman transgenik terhadap binatang dan manusia belum terdeteksi dalam jangka pendek. Baru saja dilaporkan oleh perusahaan bioteknologi Monsanto bahwa produk kedelai hasil rekayasa genetikanya telah dikonsumsi oleh binatang dan manusia selama lima tahun dan tidak ada Iaporan gangguan kesehatan. Tanaman kedelai transgenik Monsanto tahan terhadap herbisida yang juga diproduksi oleh Monsanto (Monsanto's Roundup Herbicide). Saat ini lebih dari 50 persen tanaman kedelai di Amerika adalah tanaman transgenik karena hasilnya lebih menjanjikan. Di Jepang dan banyak negara Eropa, biji kedelai dari tanaman transgenik dapat dikonsumsi manusia tetapi tidak untuk ditanam.
Konsumen saat ini tidak tahu apakah makanan yang dibelinya berasal dari hasil tanaman transgenik atau bukan. Hal ini karena informasi pada kemasan hanya kandungan gizi (nutrition facts). Asalkan kandungan gizi makanan tanaman transgenik sama dengan standar yang ada, maka produk tersebut dapat masuk pasar.
Jangka panjang
Banyak ilmuwan setuju, mungkin ada pengaruh negatif tanaman transgenik terhadap lingkungan dan kesehatan manusia dalam jangka panjang. Para peneliti dari Belgia melaporkan dalam Jurnal European Food Research and Technology edisi Agustus, telah ditemukan DNA misterius dalam gen tanaman kedelai transgenik produksi Monsanto. DNA yang tidak dikenal tersebut -- walaupun jumlahnya hanya 534 dari rangkaian sekitar 1,5 milyar kode dalam genom kedelai -- mungkin dapat mempengaruhi keamanan dari biji kedelai yang dipanen.
Penambahan atau perubahan gen baru dalam tanaman transgenik juga dikhawatirkan akan menghasilkan racun baru dalam tanaman dan menurunkan kualitas makanan berbahan baku tanaman itu. Ada kemungkinan rekayasa genetika tanaman memacu munculnya protein allergenic baru yang membahayakan kesehatan konsumen jangka panjang dan diperlukan studi jangka panjang juga untuk membuktikannya: salah satunya baru saja dimulai di California untuk tanaman anggur transgenik.
Dr Janet Cottel-Howells ilmuwan dari Greenpeace Inggris, seperti yang dikutip kantor berita Reuters menyatakan, " Kita tidak dapat mengatakan bahwa makanan dari hasil tanaman transgenik tidak aman dikonsumsi manusia, tetapi kita hanya dapat berkata tidak tahu apakah aman atau tidak".
Saat ini negara-negara maju lebih giat membenahi peraturan mengenai konsumsi makanan dari tanaman transgenik, termasuk meminta produsen tanaman transgenik seperti Monsanto untuk bertanggungjawab terhadap produk yang digunakan untuk makanan. Ini untuk melindungi hak konsumen jika kelak ada pengaruh negatif tanaman transgenik.
Revolusi Bioteknologi pada awal abad 21 bisa disebut Revolusi Hijau babak kedua, sebagai kelanjutan dari Revolusi Hijau yang telah meningkatkan kuantitas. Revolusi Bioteknologi dapat meningkatkan produksi protein dan vitamin yang berkaitan dengan perbaikan gizi makanan. Misalnya baru saja ditemukan tanaman transgenik padi berbiji kuning karena mengandung beta karoten (provitamin A) dan zat besi yang dua kali lipat lebih tinggi dari tanaman padi biasa. Kepadatan popuIasi manusia yang saat ini sudah lebih dari 6 milyar jiwa masih merupakan pokok persoalan penting untuk diatasi dengan bioteknologi, terutama mencukupi kebutuhan pangan di negara-negara berkembang yang lebih padat penduduknya.
Kelemahan Revolusi Hijau seperti penggunaan pestisida yang berlebihan dapat dikurangi sampai 25 persen dengan penanaman tanaman transgenik. Kemajuan bioteknologi pertanian akan lebih menguntungkan petani karena perawatan tanaman transgenik lebih mudah dan hasilnya optimal. Tetapi di sisi lain, petani akan sangat dirugikan kalau kelak ada pengaruh negatif dari penanaman tanaman transgenik terhadap lingkungan atau kesehatan. Jika hal ini terjadi, piodusen bioteknologi tersebut harus bertanggungjawab terhadap kerugian yang timbul di negara-negara yang sedang berkembang.
Monopoli teknologi
Saat perdebatan mengenai kelebihan dan kelemahan tanaman transgenik masih berlangsung, muncul kejutan yang mendukung perusahaan produsen tanaman transgenik dengan keluarnya hak paten nomor 6.174.724 yang diberikan kepada Monsanto. Inilah hak paten pertama untuk teknologi rekayasa genetika dalam kaitannya dengan riset tanaman transgenik: teknik penggunaan antibiotic-resistant marker gene. Prinsip teknologi tersebut pernah dimuat Kompas dalam rubtik Iptek 12 Agustus 2001 berjudul Bt 100 Tahun: Tetap Kontroversi.
Itu artinya akan ada monopoli teknologi. Setiap pengguna dasar bioteknologi tersebut harus meminta izin dari Monsanto. Karena itu hak paten Monsanto masih kontroversi karena ide dasar hak paten adalah publik mendapat akses ke produk baru secara aman. Dalam hal ini tidak ada produk baru hasil bioteknologi yang dijamin 100 persen aman, bahkan Monsanto punya hak tunggal mengendalikan teknologi rekayasa genetika tanaman secara "infostruktur", yang seharusnya dapat digunakan semua orang.
Sudah siapkah Indonesia menghadapi Revolusi Hijau Babak Kedua? Persiapan dapat dimulai dengan tiga hal. Pertama, benahi impor tanaman transgenik, termasuk kesepakatan yang jelas antara pemerintah, produsen, dan petani. Kesepakatan ini untuk melindungi petani agar tidak dirugikan kalau kelak hasilnya ditolak pasar.
Kedua, memperbaiki peraturan penanaman tanaman transgenik. Inggris misalnya, mengusulkan penanaman tanaman transgenik dengan jarak 50-200 meter dari tanaman lain untuk menghindari munculnya rumput-rumput liar (gulma) atau superweeds yang tahan herbisida. Di Kanada bahkan diusulkan penanaman paling tidak berjarak 800 meter dari tanaman yang lain, tergantung jenis tanaman. Pembatasan luas lahan tanaman transgenik juga diperlukan supaya tanaman lokal yang sejenis tidak tersingkir. Australia membatasi penanaman kapas transgenik maksimum 30 persen dari luas lahan perkebunan kapas yang telah ada.
Persiapan ketiga, dapatkan jaminan dari produsen tanaman transgenik bahwa produknya, terutama yang berkaitan dengan makanan, aman bagi manusia. Peraturan pencemaran yang lebih ketat juga diperlukan. Soalnya bahan pencemar yang ada sekarang bukan lagi di luar tanaman tetapi di dalam gen tanaman yang akan kita makan.
Dr Bintoro Gunadi
pemerhati masalah bioteknologi
peneliti di Soil Ecology Program
Ohio State University, Columbus AS
Kompas, Minggu
16/0 9/01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar