Kamis, Juni 18, 2009
Sehari Bersama Orangutan
TERUS BERKURANG: Di TNGL, tiap tahunnya 1.000 orang utan (Pongo pygmaeus abelli) mati akibat perusakan hutan. Kalau tidak dicegah dari sekarang, bukan mustahil beberapa tahun lagi hewan ini musnah.
MENGAMATI orangutan dalam sehari sungguh menarik. Kompas yang hendak ikut mengamati orangutan di habitat aslinya, terpaksa ikut bangun pagi yaitu pada pukul 04.30. Di Ketambe, pukul 04.30 ini keadaan alamnya setara dengan kira-kira pukul 03.30 di Jakarta.
ROMBONGAN yang berangkat adalah Kompas, rekan wartawan Hotli Simanjuntak dari AFP, serta dua asisten peneliti Adam dan Isa yang bekerja untuk peneliti dari Republik Ceko, Ivona Votoiva.
Beberapa kali rombongan harus melewati pohon besar yang sudah roboh ditebang pencuri kayu. Penebangan liar telah berani beraksi sangat dekat dengan stasiun penelitian.
Meskipun rombongan berjalan cepat, tetapi harus tetap berhati-hati karena sering melewati tebing sungai sedalam empat meter. Setelah berjalan sekitar satu kilometer. akhirnya sampailah rombongan ke lokasi pengamatan orangutan di Ketambe. Waktu menunjukkan tepat pukul 06.24.
"Terlambat kita. Pluis dan Pina sudah bergerak menuju pohon rembung," kata Adam. Sementara Isa, asisten peneliti yang lain, sibuk mencatat.
Pluis adalah nama orangutan betina yang diikuti, sedangkan Pina adalah anaknya yang baru berumur satu tahun.
Berbeda dengan monyet, orangutan bergerak sangat pelan dari dahan ke dahan di atas pohon dengan ketinggian antara 25 sampai 30 meter. Tepat pukul, 06.26, Pluis dan Pina mulai menikmati buah rembung (Ficus benjamina) untuk sarapan pagi.
Begitulah setiap kegiatan Pluis dicatat dengan cermat dan detail oleh Adam dan Isa. Pukul berapa, melakukan apa, kapan orangutan lain mulai datang, kapan kencing, kapan berak, semuanya tanpa kecuali.
"ADA Capedal," kata Adam tiba-tiba. Yang dimaksud capedal adalah sub adult male, alias orangutan betina yang masih ABG.
Beberapa saat kernudian, beberapa orangutan telah hadir di dahan pohon rembung yang besar dan tinggi itu. Rembung memang masih satu keluarga dengan beringin.
Sementara itu, burung-burung rangkong sudah mulai beterbangan mendatangi pohon rembung juga. Buah rembung juga merupakan makanan favorit burung cantik bersayap hitam, ekor putih, dengan kepala kuning, dan bulu dada berwarna kuning atau putih ini.
Sayapnya yang bentangannya bisa mencapai satu meter itu jika dikepakkan mengeluarkan bunyi keras. Sedangkan jika dia melayang di udara, terdengar bunyi mendengung.
Tiba-tiba. Plak! sebuah pukulan keras serasa mendarat di bahu kanan. Rupanya sebutir buah rembung jatuh di bahu kanan. Biarpun lunak, buah sebesar anggur ini ketika jatuh menimpa bahu dari ketinggian 30 meter rasanya lumayan nyeri. "Jangan-jangan tepat di bawah orangutan yang sedang makan," kata Adam sambil tertawa.
Sementara menunggui orangutan sarapan, para peneliti pun sarapan juga. "Dimakan separuh saja, sisanya jatah kita makan siang," kata Adam.
Sambil mengamati orangutan, Adam mulai bercerita. "Kalau seminggu dua minggu mungkin mengamati orangutan masih asylk, tapi lewat dari itu bosan sekali." katanya.
Untuk mengatasi kebosanan, kadang-kadang para asisten peneliti membawa majalah atau novel untuk dibaca. "Tapi kalau penelitinya orang asing, sering kami tidak boleh bawa buku," kata Adam.
Sebulan Adam dan Isa cuma bekerja 20 hari saja, libur 10 hari. "Kalau tidak ada libur, wah enggak ketahan. Matilah kita," kata Isa Sambil tertawa.
Sementara, dari kejauhan terdengar seperti suara anjing menggonggong dua kali, tetapi sangat keras. "Itu suara kijang," kata Adam.
PUKUL 09.25, Pluis dan Pina bergerak meninggalkan pohon rembung. Terus berpindah dari dahan ke dahan di atas puncak-puncak pohon. Dari bawah para peneliti mengikutinya. Terkadang harus menerabas pepohonan.
Sementara Pluis dan Pina bergerak santai di atas pohon, kami berempat harus tersengal-sengal mengikuti dari bawah melewati jalan yang naik ke arah gunung. "Wah mau dibawa ke mana kita ini. Kalau naik terus, repot. Terjal sekali." kata Adam.
Menurut Profesor Carel Van Schalk, peneliti dari University of Duke Amerika Serikat, dalam sebuah literatur tentang orangutan, kecerdasan orangutan dapat berkembang mencapai kepintaran bocah usia empat tahun.
Menurutnya. orangutan mungkin sepintar simpanse, tetapi pasti lebih cerdas daripada lumba-lumba. Binatang ini pun telah mengenal menggunakan alat. Seperti jika jarak antardahan pohon terlalu jauh, orangutan akan mematahkan dahan pohon dan menggunakannya sebagai galah untuk meraih dahan pohon yang lain.
Sementara, jika mendapatkan buah cemengang yang keras kulit luarnya serta berbulu dan gatal, orangutan akan mematahkan ranting kayu dan menggunakannya sebagai sendok. "Kalau terpaksa harus memanjat pohon berduri, orangutan ini akan mengambil daun untuk menutupi duri tersebut. Jika masih terasa duri itu menusuk kulitnya, ditambah lagi daunnya, begitu sampai durinya benar-benar tertutup daun." tutur Adam.
Sementara itu, Pluis dan Pina telah berhenti di atas pohon banitan (Mistixia trichotoma) dan menikmati buahnya. Begitulah, seharian Pluis dan Pina ini menghabiskan hampir semua waktunya untuk makan. Apa saja dimakannya, daun akar rambut galang (Acasia pennata) pun dimakannya, serangga seperti semut dan rayap juga dilahapnya.
"Yang repot kalau ketemu sarang tawon, dan memakan larva tawonnya, orangutannya kebal disengat tawon dan cuek aja. Kita yang dibawah ini yang harus cepat-cepat kabur karena tawon-tawon tersebut akan segera mengejar kita juga," kata Isa.
Pukul 17.30 Pluis telah mulai membuat sarang di pohon yang tidak terlalu jauh dari pohon rembung. "Orangutan selalu membuat sarang baru setiap harinya, dan tidak pernah menggunakan sarang yang lama," kata Adam. Pada pukul 17.38, sarang dari daun-daunan tersebut selesai. Pluis dan Pina pun siap tidur.
Rombongan pun segera bergegas. "Untung masih sore sudah bikin sarang, kadang-kadang sampai jam setengah tujuh malam baru bikin sarang. Kalau sudah begitu, bisa pukul sembilan malam baru sampai stasiun," kata Adam. (anv)
Kompas, Senin
30/07/2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar