Minggu, Juli 05, 2009
Kalau Dampak Narkotik Sudah ke Jantung
BERAPA biaya yang dibutuhkan untuk penyembuhan, bila seseorang terjerat penyalahgunaan narkotik dan psikotropika? Tak banyak yang menyadari, biaya dari hulu ke hilir-- plus penanggulangan segala dampak yang diakibatkannya-- bisa melebihi harga sebuah rumah.
Tak percaya? Mari kita hitung satu per satu. Begitu pengguna mengalami tahap keracunan, morfin misalnya, maka antidotum yang diperlukan sebagai penawar harganya Rp 100.000 per ampul. Kalau setiap pengobatan membutuhkan 4-5 ampul, maka dibutuhkan Rp 500.000.
Oleh karena masa kerja intoksifikasi pendek, setelah dua tiga hari tubuh secara biologis meminta narkotik atau psikotropika lagi. Bukan tak mungkin ia berulang kali keracunan dan didetoksifikasi ulang.
Maka untuk membantu keluar dari adiksi ini, perlu wisma rehabilitasi yang bisa mengisolir penderita dari kelompoknya, sekaligus membangkitkan semangat untuk bisa keluar dari jerat. Kalau umumnya wisma mematok biaya Rp 3 juta per bulan dan minimal dibutuhkan enam bulan perawatan, dibutuhkan lagi biaya Rp 18 juta.
Itu normalnya. Tetapi bila ternyata pengguna terinfeksi berbagai mikroorganisme gara-gara memakai jarum yang tidak steril, bukannya tak mungkin ia terkena infective bacterial endocartitis (IBE). Untuk mengobatinya, perlu satu bulan. Kalau harga antibiotik per harinya Rp 150.000, berarti perlu Rp 4,5 juta.
Tanpa memperhitungkan biaya transportasi, hilangnya waktu produktif orangtua untuk bolak-balik ke dokter, kecemasan, dan hilangnya waktu sekolah yang tak ternilai, maka tiga hal itu saja sudah menelan Rp 23 juta. Cukup untuk membeli rumah sederhana, yang amat diidam-idamkan jutaan orang berpenghasilan pas-pasan di negeri ini.
NAMUN dampak buruk narkotik dan obat bagi si penderita itu sendiri sebenarnya amat luas. Pencampuran putaw dengan tepung supaya lebih murah misalnya, bisa menyebabkan emboli paru. Sementara penggunaan jarum yang tidak higienis, tidak hanya menyebabkan IBE, tetapi juga menularkan HIV/AIDS, hepatitis C, membawa kuman yang merusak paru dan katup jantung. Konsekuensi lanjutannya adalah biaya pengobatan yang tidak kira-kira dan makin terancamnya jiwa.
Seperti yang diungkapkan dr Otte J Rachman, Kepala Bagian Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Jantung Harapan Kita, kerusakan katup jantung yang berkait dengan narkotik dan psikotropika punya pola yang khas, berbeda dengan kasus-kasus yang dihadapi sebelum munculnya para junkies (istilah untuk pemakai narkotik dan psikotropika) ini.
Menurut Otte, biasanya orang yang kena infeksi jantung sudah punya kelainan jantung. Kemudian karena yang bersangkutan harus menjalani kuret, sakit gigi, atau bisul, terjadilah infeksi yang akhirnya berdampak ke jantung. Yang terganggu bisa jaringan ikat, katup, atau otot jantungnya.
Lazimnya, yang kena katup jantung sebelah kiri. "Tetapi kita belum tahu alasannya, mengapa begitu," kata Otte.
Kuman yang jadi sumber infeksi, biasanya juga kuman-kuman tertentu. Bisa dari kulit, dari saluran kencing kalau dikuret, dari gigi yang infeksi, dan sebagainya.
Namun belakangan ini para dokter jantung menemukan kecenderungan lain. Ketika berhasil dideteksi ada infeksi jantung karena kelainan katup, maka, yang terkena adalah bagian jantung sebelah kanan.
Jenis mikrobanya pun berubah. Kalau dulu kebanyakan kuman Streptoccocus sp, belakangan ini jamur dan nonbakteri yang tidak lazim menginfeksi jantung. Yang terutama adalah Moniliasis sp, lebih dikenal sebagai jamur susu.
Yang jelas, kebanyakan yang mengalami rusak katup jantung sebelah kanan dan dengan patogen yang tak lazim itu, adalah pengguna narkotik dan obat.
JANTUNG didesain untuk mengirim dan menerima kembali darah yang bersirkulasi di seluruh tubuh. Darah yang sudah membawa suplai oksigen dari paru-paru dipompa dari serambi jantung kiri ke bilik jantung kiri, masuk ke aorta. Dari aorta yang merupakan arteri terbesar, darah dikirim ke seluruh tubuh.
Sebaliknya, darah yang sudah tidak mengandung oksigen kembali ke jantung melalui vena. Darah dipompa dari serambi kanan ke bilik kanan. Dari situ darah dikirim ke aorta pulmonary lalu ke paru. Di situlah darah dibersihkan dari karbondioksida dan mengambil oksigen.
Hal ini mungkin bisa menjelaskan, mengapa pada pecandu narkotik dan psikotropika terkena jantung bagian kanannya. Bisa jadi mereka menyuntikkan obat ke pembuluh darah balik (vena), sehingga kuman dan jamur dari jarum yang tidak steril itu membonceng sampai ke jantung sebelah kanan.
Literatur menunjukkan, hal serupa bisa terjadi pada pasien di intensive care unit yang harus dipasangi selang untuk memasukkan obat ke vena. Bila selang tidak steril, terinfeksilah jantung sebelah kanan.
Kuman yang masuk ke jantung, bisa bersembunyi di mana saja. Ada yang di fibrin, di otot, atau di katup jantung. Gangguan kuman maupun jamur di katup inilah yang menyebabkan kerusakan fungsi katup sebagai pintu: mengarahkan aliran darah. Begitu katup rusak, aliran darah bisa ke mana-mana, arah tidak tercapai, dan pekerjaan jantung jadi tidak efisien.
Gangguan pada katup jantung memperpendek usia dan menurunkan kualitas hidup. Pada remaja, jika gangguan ini tidak ditangani akan membuat mereka tidak bisa lagi berolahraga, apalagi berkemah, dan mendaki gunung. Pada remaja putri makin berat lagi, karena akan menjadi penyulit bila tiba saatnya hamil dan bersalin.
Infeksi pada jantung sendiri tidak sering. Dalam setahun paling dijumpai 10-20 kasus. "Karena itu, begitu ada perubahan, ada peningkatan, langsung terlihat. Cuma angkanya saya tidak ingat pasti," tutur Otte.
INFEKSI maupun gangguan pada katup jantung membuat jantung tidak mampu memompa, memompa tidak efisien, atau memompa salah. Ini menyebabkan sindroma kegagalan jantung dengan gejala bengkak di kaki, hati, dan organ-organ tubuh lainnya, sesak, jantung berdebar-debar, tidak bisa berbaring, dan sulit tidur.
Kalau tidak ditangani, otot jantung akan semakin rusak. Kinetiknya berubah, karena harus bekerja lebih berat dan lebih banyak, untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Puncaknya, otot jantung berhenti bekerja dan matilah penderitanya.
Infeksi diobati dengan antibiotik. Namun karena kumannya sering kali berada di bagian-bagian jantung yang tersembunyi, perlu antibiotik dosis tinggi. Tidak jarang antibiotik harus diberikan selama beberapa minggu, dengan harga yang tidak murah pula. Akibatnya, biaya membengkak.
Katup jantung yang rusak bisa diganti dengan katup buatan. Ada yang dari jaringan-- bisa binatang atau orang-- yang dibentuk jadi katup. Ada juga yang nonjaringan, bisa dari alloy (campuran beberapa logam), karbon, atau logam.
Meski katup nonjaringan tahan lama-- bisa lima kali lipat umur katup dari jaringan-- katup ini membutuhkan bantuan obat-obatan pengencer darah seumur hidup. Ini perlu kontrol ketat karena bisa memicu perdarahan. Sayangnya, laboratorium tidak selalu ada di setiap daerah. Pada perempuan, minum obat pengencer darah akan menyulitkan saat hamil.
Oleh karena itu bila pasiennya perempuan atau tinggal di daerah, diberilah protese jaringan. "Meski umurnya lebih pendek, hanya 5-8 tahun, protese jaringan sedikit lebih murah dan tidak membutuhkan obat pengencer darah, " tutur Otte.
Di RS Jantung Harapan Kita, harga protese katup yang termurah Rp 12 juta dan yang termahal Rp 35 juta. Biaya operasinya untuk satu katup di kelas III Rp 30 juta sampai Rp 42,5 juta untuk VIP. Bila kedua katup perlu diganti, harga katup dan biaya operasi tinggal dikalikan dua.
Jadi untuk mengatasi gangguan satu katup saja, perlu biaya minimal Rp 42 juta. Cukup untuk membeli rumah kecil di pinggiran kota. Oleh karena itu, jangan pernah mencoba narkotik dan psikotropika. Kalaupun nyawa masih selamat, biayanya itu lho... (nes)
Kompas
Minggu, 26/12/99
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar