Selasa, Mei 19, 2009

Kolagen apa Silikon?

Yang Perlu Dicermati tentang Penggunaan Kolagen

KOLAGEN sebagai salah satu bahan untuk memperindah kulit, cukup luas dikenal masyarakat. Mereka yang belum pernah menggunakan, paling tidak pernah mendengar kata ini, lewat berbagai sumber.

SEBUAH iklan menyebutkan, kolagen bisa mengembalikan kekencangan kulit yang sudah mengendur, mempermulus kulit dan membuat kulit bercahaya. Sebegitu hebatkah kolagen?

Dokter Titi Moertolo mengatakan, ada tiga macam cara menggunakan kolagen. Mereka yang merasa tertarik sebaiknya memilih untung-ruginya, agar tak menyesal belakangan. Maunya menjadi lebih cantik, salah-salah malah bisa fatal.

Kolagen, jelas dokter kulit ini, bisa digunakan dengan tiga cara, yakni diminum, dioles atau disuntikkan. "Mana yang balk, mana yang paling efektif, tidak bisa dijawab secara umum begitu saja," katanya. "Ini tidak cuma berlaku untuk kolagen, tetapi juga untuk yang lainnya. Jangan ikut-ikutan karena melihat orang lain berhasil," lanjut dokter Bu Moertolo lagi.

Peringatan tersebut perlu ditekankan karena pengalaman memperlihatkan, banyak orang cepat terpengaruh untuk mengikuti temannya. Tetapi banyak orang kemudian kecewa karena tidak mendapatkan hasil seperti yang dia lihat pada orang lain.

"Ini bisa terjadi karena reaksi orang berbeda. Ada orang yang kulitnya bereaksi cepat, ada yang lambat. Masing-masing orang, lain-lain reaksinya," kata dokter Titi.

Waspada ginjal

Pada dasarnya kolagen merupakan jaringan ikat pada kulit yang membuat kulit menjadi keras dan kencang. Bersama serabut elastin, serabut-serabut kolagen saling isi-mengisi dan membuat kuat lapisan kulit bagian atas.

Kolagen dalam pil, sangat mudah didapatkan di toko-toko obat. Pil ini merupakan food supplement yang mengandung protein tinggi. "Kolagen dibentuk oleh badan kita, protein tinggi bisa membentuk kolagen yang balk," kata dokter Titi Moertolo.

Meski begitu untuk mengkonsumsi pil yang mengandung protein tinggi, Titi mengingatkan agar hati-hati. Terutama bagi mereka yang kondisi ginjalnya tidak baik, mengkomsumsi pil seperti ini mengandung risiko yang cukup besar.

Maka sebaiknya, pastikan dulu apakah ginjal benar-benar balk, sebelum memutuskan untuk mulai makan pil protein tinggi demi mendapatkan kulit yang lebih baik.

"Kalau memang ginjal balk, memang tidak ada salahnya mengkonsumsi food supplement itu," demikian Titi Moertolo.

Beberapa dari mereka yang pernah mengkonsumsi makanan tambahan tersebut memang mendapatkan hasil yang cukup balk. Artinya, kulit menjadi lebih kencang dan lebih halus.

Berapa lama konsumsi bisa dilakukan, prinsipnya tidak ada batasannya. Tiap hari selama tiga bulan misalnya, dengan dosis yang kemudian dikurangi. Atau bahkan sepanjang tahun. "Semua ini sangat tergantung pada individunya dan juga usia," ujar Titi. "Tetapi sekali lagi, ini hanya dianjurkan untuk mereka yang ginjalnya bagus. Karena bagaimanapun tambahan makanan ini akan membebani kerja ginjal."

Efek keberhasilan terutama terjadi pada mereka yang mengalami penuaan dini. Keadaan ini biasanya terjadi karena seseorang terlalu sering tertimpa sinar matahari, merokok, memakai obat-obatan tertentu atau juga dialami oleh mereka yang hidupnya penuh stres.

Konsumsi makanan tambahan berprotein tinggi dalam beberapa minggu, akan menampakkan hasil yang mencolok. "Ini juga tergantung apakah si pemakai responsif atau tidak. Untuk mereka yang tidak responsif, waktunya mungkin bukan hitungan minggu atau mungkin tidak sebaik mereka yang responsif," ucap dokter Titi Moertolo.

Cara lain berupa penggunaan krim topikal atau poles, menurut Titi mengalami perkembangan di kalangan para ahli. Kalau dulu pembentukan kolagen lewat pengolesan di pori-pori kulit, dianggap tidak mungkin, sekarang muncul pendapat yang mengatakan hal itu mungkin dilakukan bila ada pembawa campuran yang pas.

Namun secara pribadi Titi masih ragu dengan efektivitas pembentukan kolagen lewat cara ini. "Karena sampai sekarang saya belum dapat bukti. Ini pengalaman pribadi saya," ucap dokter ahli kulit ini.

Suntikan

Bekas cacar, lubang bekas jerawat, atau daerah garis senyum (smile line), supaya bisa rata, bisa "ditambal" dengan kolagen. Melalui teknik penyuntikan, bagian-bagian yang ingin dibuat mulus diisi dengan kolagen yang biasanya didapat dari sapi.

Di Indonesia kolagen dari sapi sudah beredar sejak sekian tahun lalu, bahkan sampai sekarang. Namun bagi mereka yang ingin mencoba teknik suntik ini, yang perlu diketahui, biasanya dalam waktu dua atau tiga bulan, harus menjalani suntik ulang kalau memang ingin tetap bertahan. Sampai sekarang belum ditemukan hasil permanen untuk penyuntikan kolagen ini.

Lagipula ada efek samping yang harus diperhatikan akibat suntikan ini, misalnya alergi. Atau penyuntikan mengakibatkan koreksi berlebihan (over corrected) berupa bagian kulit yang melentung. "Lebih fatal lagi, reaksi bisa terjadi di lokasi lain yang sebenarnya bukan menjadi sasaran," kata Titi Moertolo.

Sebuah kasus yang pernah terjadi, misalnya, seseorang menjadi tua mendadak setelah penyuntikan selama dua tahun. Bila sudah demikian, sangat sulit untuk memperbaiki, bahkan untuk mengembalikan ke keadaan sebelumnya.

Titi mengingatkan, konsumen sebaiknya mencari beberapa pendapat kepada orang-orang yang kompeten sebelum memutuskan untuk memilih cara suntik. Hal yang sama juga berlaku pada saat seseorang ingin melakukan operasi kosmetik.

"Setelah puas mendapat keterangan dari beberapa orang, kalau memang mau melakukan, silakan," katanya. Soalnya kalau terjadi sesuatu, lebih sulit menariknya kembali.

Bahkan sekalipun itu dilakukan di negara yang sangat maju sekalipun. Dokter Titi lalu mencontohkan sebuah kejadian yang dialami oleh seorang wanita berusia 50-an di Amerika. Akibat operasi plastik yang dijalaninya, wanita tadi mengalami bengkak-bengkak pada wajahnya. Setelah ditangani ulang, bengkak-bengkak itu memang akhirnya hilang, tetapi wajah wanita itu berubah sama sekali. Tidak menjadi lebih buruk, hanya saja orang menjadi sulit mengenali perubahan itu. Belakangan yang terjadi adalah munculnya stres karena dia
merasa menjadi manusia lain.

Konsumen sebaiknya, kata Titi, jangan mudah terkecoh. Apalagi dalam soal kolagen ini masih terjadi kerancuan dengan silikon yang sudah jelas-jelas banyak menimbulkan korban. Ia mensinyalir, praktik-praktik penyuntikan kolagen, sebagian berbaur dengan penggunaan silikon.

Artinya, karena kewaspadaan masyarakat terhadap silikon sudah lumayan balk, orang kemudian menawarkan bahan baru berupa kolagen. Padahal yang dipakai tetap silikon.

Peringatan ini perlu dia kemukakan karena secara fisik sangat sulit membedakan antara kolagen dengan silikon. "Apalagi kalau harganya cuma puluhan ribu, saya curiga betul, itu silikon, bukan kolagen." (ret)

Kompas, Minggu
16 Sep 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar