Kamis, September 10, 2009

Menguak Misteri Situs Rancah di Ciamis




FOSIL GIGI --- Patahan gigi yang sudah menjadi fosil, yang diperkirakan sebagai gigi depan manusia purba yang ditemukan di situs Rancah, Ciamis, Jawa Barat.

Jika fosil gigi sudah ditemukan dan kemudian menyusul adanya batu tulis (rock art), mengapa situs Rancah di Kabupaten Ciamis tidak menyimpan fosil Homo erectus atau manusia purba? Sayang, teka-teki manusia purba dari situs tersebut sampai sekarang masih merupakan misteri yang belum terungkap.

APAKAH hanya soal waktu atau memang hanya sebuah obsesi, ternyata semangat para arkeolog yang tergabung di Balai Arkeologi (Balar) Bandung masih belum padam, walaupun usaha menemukan Phithecantropus erectus (manusia purba) di situs Rancah belum membuahkan hasil yang memuaskan. "Kami masih akan terus melakukan penggalian," ujar Dr Tony Djubiantono, Kepala Balar Bandung, seraya menimang-nimang gigi patahan bagian depan yang diduga milik manusia purba.

"Semula saya menduga gigi tersebut berasal dari gigi monyet. Tapi, kalau gigi monyet terlalu besar," tambahnya. Selain gigi, di sebelahnya terdapat artefak dan segumpal tanah lempung kebiru-biruan yang diambil dari tempat di mana gigi patahan tersebut ditemukan. Temuan itu makin memperkuat hipotesanya bahwa tidak mustahil di daerah Jawa bagian barat juga terdapat manusia purba sebagaimana di daerah Jawa bagian tengah dan bagian timur. Bahkan jika melihat proses penghunian Pulau Jawa dengan keberadaan jembatan daratan yang terbentuk pada jaman glasial, sangat boleh jadi umur manusia purba di Jawa bagian barat lebih tua dibanding umur manusia purba di Jawa bagian tengah dan timur.

Hipotesa ini, menurut Djubiantono, didasarkan pada proses migrasi fauna dan manusia purba dari daratan Asia ke Pulau Jawa, lalu menyebar ke pulau-pulau lainnya di Indonesia. Sesuai dengan keadaan geologis pada jaman Pleistosen (kurang lebih dua juta tahun lalu) dan selama jaman Pleistosen Bawah (hingga kurang lebih 700.000 tahun lalu), pembentukan Pulau Jawa terjadi secara berurut dari barat ke timur. Jalur inilah yang kemudian dijadikan jalur migrasi fauna dan manusia purba.

Sehingga berdasarkan alasan tersebut, tidak tertutup kemungkinan bahwa kawasan situs Rancah merupakan salah satu bagian dari mata rantai jalur migrasi. Kawasan itu dinilai sangat potensial, menyusul ditemukannya sejumlah fosil vertebrata berupa rahang bawah dan taring Hippopotamus (kuda nil), dan bahkan peralatan manusia. Temuan benda-benda bersejarah itu biasanya menandakan adanya sosialisasi dengan "manusia".

ASUMSI bahwa di situs tersebut terdapat manusia purba, dilandasi dengan adanya temuan alat-alat paleolitik di Sungai Cipasang berupa kapak perimbas dan kapak penetak. Selain di Sungai Cipasang, alat batu paleolitik juga pernah ditemukan di aliran Sungai Cisanca yang terletak di Desa Kaso.

Yang lebih menarik lagi adalah hasil inventarisasi arkeologis di daerah Ciamis yang dilakukan oleh Krom pada tahun 1914. Salah satu hasil inventarisasinya menyebutkan bahwa di Citapen ditemukan adanya goresan-goresan yang antara lain menggambarkan bentuk manusia. Penduduk setempat menamakannya "batu tulis". Pada saat itu, Citapen termasuk Distrik Rancah.

Penelitian terakhir obyek "batu tulis" atau rock art tersebut dilakukan Tim Balar Bandung yang dipimpin Drs Nanang Saptono dengan anggota Ir Agus, Dr Tony Djubiantono, Dra Sudarti M Hum, Dra Desril R Shanti, Dra Endang Widyastuti, Dayat Hidayat dan Widarwanta. Nanang Saptono dan Agus dalam laporannya mengungkapkan, yang disebut "batu tulis" tersebut pada saat ini terletak di Dusun Citapen Pasir, Desa Sujaya, Kecamatan Rajadesa. Obyeknya berada pada satu dinding tebing barat laut Gunung Sangkur yang terletak di sebelah utara jalan desa.

Untuk mencapai tujuan, perjalanan harus ditempuh dengan jalan kaki melalui jalan setapak sejauh kurang lebih 200 meter yang sekaligus merupakan bibir tebing curam. Obyek berupa goresan yang disebut batu tulis terdapat pada dinding tebing yang secara geologis merupakan batuan breksi gunung api andesit dari formasi Kumbang yang berumur Pliosen Bawah.

Di sebelah utara tebing terdapat aliran Sungai Cijolang, salah satu anak Sungai Citanduy yang bermuara ke Samudra Hindia. Jika ditarik garis lurus, antara Sungai Cijolang dengan tebing tersebut sekitar 700 meter.

GORESAN-goresan yang disebut batu tulis berada pada satu lokasi yang berketinggian 100 meter dari dasar tebing. Di sekitar tempat tersebut terdapat teras dengan luas kurang lebih 16 meter persegi.

Masyarakat setempat mengungkapkan, setiap tahun teras tersebut bertambah tinggi karena longsoran tanah yang berasal dari daerah di atas tebing. Katanya, dulu pada tahun 1950-an mereka baru bisa melihat goresan-goresan pada "batu tulis" tersebut dengan menggunakan tangga.

Akan tetapi, karena longsoran tanah dari bagian atas terus bertambah, setelah setengah abad, sebagian goresan-goresan tersebut sudah tertimbun tanah. Katanya, sebagian goresan-goresan yang tertimbun itu menggambarkan semacam binatang, telapak tangan dan telapak kaki, serta seperti tulisan dengan huruf Jawa Kuna atau Sunda Kuna.

Ketika Kompas meninjau "batu tulis" tersebut akhir Juli lalu, bidang goresan yang tersisa pada saat ini hanya sekitar 1,5 x 4 meter. Kedalaman goresan-goresan tersebut sekitar satu sentimeter dan lebarnya antara 2-4 mm.

Goresan-goresan tersebut terbagi dalam dua kelompok. Kelompok sebelah kiri terdiri dari beberapa garis vertikal. Garis-garis tersebut seperti terdiri dari beberapa kumpulan, masing-masing ada yang terdiri dari tiga garis, lima garis, dan tujuh garis.

Pada bagian atasnya terdapat goresan yang menyerupai gambar binatang melata yang ditandai dengan bentuk bulatan dan di bagian atasnya seperti menyerupai gambar kepalanya. Di bawah bulatan tersebut bersambungan dengan garis-garis melengkung yang menggambarkan badan, serta garis memanjang yang menggambarkan ekor.

Di bawah goresan itu terdapat bentuk yang menyerupai telapak tangan dengan lima jari, walaupun kurang tepat karena bagian yang menggambarkan jari-jarinya sangat pendek. Di sekitar bentuk-bentuk goresan tersebut terdapat beberapa garis yang tidak beraturan.

Kumpulan garis-garis vertikal juga mendominasi goresan-goresan yang berada di kelompok sebelah kanan. Tiap kelompok rata-rata terdiri dari lima garis. Di atas atau di bawah kumpulan garis-garis vertikal tersebut terdapat goresan lengkung.

Secara sepintas, goresan-goresan tersebut menyerupai gambar telapak tangan. Garis-garis lengkungnya menggambarkan telapak tangan sedangkan garis-garis vertikalnya menggambarkan jari. Pada sudut kanan atas kelompok ini terdapat goresan yang menggambarkan semacam daun berbentuk runcing memanjang.

Selain bentuk-bentuk itu, masih terdapat goresan-goresan lainnya yang bentuknya tidak beraturan. Dengan mengutip pendapat Prof Dr Michael Morwood dari Departement of Acheology & Palaeanthopology, Australian New South Wales University, yang meninjau situs tersebut tiga bulan lalu, Tony Djubiantono mengungkapkan bahwa bentuk serupa juga pernah ditemukan di Kimberley, Australia Utara, sebagai warisan dari suku Aborigin awal.

"Rock art tidak selalu harus berupa lukisan," tegasnya. Bentuk garis-garis sebagaimana dijumpai di Citapen menurut dia, sebagai rock art yang masih primitif, berbeda dengan di Maros, Sulawesi Selatan, yang sudah membentuk. "Di Citapen belum membentuk," katanya. Oleh karena itu, Kepala Balai Arkeologi Bandung itu bertekad akan melanjutkan penggalian bulan Agustus mendatang. Ia berharap, di bawah tanah yang tertimbun masih terdapat goresan-goresan lainnya.

SITUS Rancah merupakan sebuah daerah yang berbukit-bukit dengan ketinggian 120 sampai 420 meter di atas permukaan laut. Daerahnya dialiri Sungai Cijolang dengan sejumlah anak-anak sungainya.

Tony Djubiantono mengungkapkan, walaupun kini Rancah merupakan dataran tinggi, namun berdasarkan analisis polen yang dilakukan ternyata di daerah tersebut sebelumnya banyak sekali tanaman bakau.

Pada jaman dulu, Rancah merupakan pesisir pantai. "Sejarah daerah ini tampaknya dimulai sebagai daerah pantai," ujarnya.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan selama ini, ternyata daerah tersebut kaya dengan temuan fosil. Beberapa fosil binatang purba antara lain rahang bawah dan taring kuda nil serta beberapa fragmen tulang vertebrata pernah ditemukan di situs Urug Kasang yang terletak di tepi Sungai Cipasang. Tetapi, sejauh ini para arkeolog belum berhasil menemukan fosil manusia purba.

Salah satu hal yang memberatkan dalam penelitian di daerah ini adalah tingginya pelapukan. Beda dengan Jawa bagian tengah dan bagian timur yang lebih terbuka sehingga memudahkan ditemukannya fosil-fosil. Walau demikian, Tony Djubiantono bertekad untuk bisa menyingkap misteri manusia purba di situs Rancah. "Hidup saya dipertaruhkan untuk itu," katanya.

Apalagi, kini setelah ditambah dengan ditemukannya rock art, misteri manusia purba di situs Rancah, makin membuat penasaran para arkeolog. (Her Suganda)

Kompas
Selasa, 31/07/01

Tidak ada komentar:

Posting Komentar