PASRAH. Itulah yang umumnya dilakukan seorang pasien begitu kereta tidurnya didorong masuk ke ruang operasi. Ketika semua sudah lengkap, persiapan sudah selesai, pasien akan menjalani tahap siap ditidurkan di dalam prosedur pembedahan. Semua tergantung pada keahlian dokter termasuk ahli anestesi, kesiapan alat, dan... nasib.
Memang, nasib atau kekuatan apa pun di luar manusia yang ikut berperan di dalam menit atau puluhan menit bahkan jam-jam genting, lebih menonjol untuk diingat terutama karena tidak semua kesiapan teknis akan menghasilkan yang terbaik. Bayangkan di negeri seperti Amerika Serikat, lima orang meninggal di dalam kaitan dengan tindak pembedahan. Penyebab yang dicurigai adalah bagian anestesi. Itulah yang mendorong orang lebih memperhatikan keselamatan pasien.
Yang menarik, justru mereka yang terkait dengan bisnis pengadaan zat atau alat pembius tersebutlah yang pertama-tama mengeluarkan peringatan agar semua pihak berhati-hati. Pabrik pembuat Raplon misalnya menyebabkan hari Kamis (29/3/01) lalu bahwa pembius itu mungkin yang menyebabkan gejala bronchospasma-- keadaan sulit bernapas secara normal. Produsen obat-obatan ini kemudian mengingatkan hal itu kepada para ahli anestesi dan lingkungan pengawas obat di rumah-rumah sakit.
Perusahaan Organon Inc yang berpusat di West Orange, New Jersey, bahkan secara sukarela menarik obat tersebut, rapacuronium chloride. Obat ini digunakan sebagai pengendur otot selama pemasangan tabung oksigen untuk keperluan pembedahan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) negeri itu menyebutkan, penarikan obat tersebut tidak membahayakan karena banyaknya sediaan obat serupa dari produsen lain. Namun di lapangan, obat ini tidak hanya dipakai untuk pembiusan, bahkan juga untuk menangani obstetric maupun mengurangi rasa sakit selepas operasi.
"Karena itu kami menggunakan obat-obatan lama seperti morfin," tutur Dr David Bimbach yang menangani anestesi di RS St Luke's-Roosevelt di New York, seperti dikutip oleh CNN.com.
Dokter di mana pun tentu mengenal keampuhan morfin-- juga digunakan untuk keperluan darurat di medan perang--- di dalam menanggulangi rasa sakit, dan tentu juga di dalam membius. Jarang ada laporan tentang dampak samping yang berbahaya. Kekurangannya adalah, pasien mesti mengalami rasa tidak nyaman seusai operasi. Mereka harus menginap lebih lama, dan menumpuklah jumlah pasien yang menunggu untuk pindah ke ruang rawat sesudah menjalani operasi.
MASIH berkait dengan soal pembedahan dan anestesi adalah sikap para pasien itu sendiri. Banyak orang Indonesia yakin akan keampuhan obat-obatan tradisional untuk mengiringi tarikan pisau bedah atau sesudahnya. Seorang sekretaris eksekutif sebuah perusahaan besar di Jakarta misalnya, mengonsumsi obat Cina yang ia yakini mempercepat penyembuhan sesudah menjalani operasi usus buntu. Seorang pimpinan teras sebuah perusahaan swasta besar minum akar-akaran sebelum menjalani operasi mata yang berbahaya di Australia.
Tampaknya di AS kecenderungan seperti itu juga besar. Karena itu para ahli anestesi selalu bertanya apakah pasien menelan jamu atau obat tradisional. Laporan di berbagai media massa seperti dikutip AP menandaskan pasien berisiko mengalami perdarahan tak terduga dan darahnya sulit membeku, kalau mereka mengonsumsi ginseng, gingko biloba, dan obat atau jamu produk herbal lainnya.
Menurut Jessie Leak, seorang ahli anestesi pada MD Anderson Cancer Center di Houston, Texas, Amerika Serikat, jahe, gingko biloba, ginseng, dan bawang berpengaruh pada perdarahan dan tekanan darah. Sedang valerian dan kava-kava bisa mengganggu pasien waktu terbangun dari pembiusan.
Leak meneliti potensi komplikasi dari penggunaan produk herbal tertentu. Katanya kepada CNN.com, "Kalau pasien tidak menjelaskan kepada kami, keselamatannya menjadi taruhan...." (efix)
Kompas
Minggu, 01/04/01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar