Jumat, September 04, 2009

Misteri Pembasmian itu

HAMPIR semua pejabat tinggi AS di Washington maupun kedutaan besarnya di Jakarta tidak menyangka bahwa PKI sebagai partai politik yang meraksasa waktu itu akhirnya hancur berantakan setelah pecahnya peristiwa tanggal 30 September 1965. Kegagalan demi kegagalan CIA untuk menyingkirkan Bung Karno memunculkan rasa skeptis yang membuat mereka menarik kesimpulan bahwa Indonesia akhirnya akan jatuh ke tangan komunis.

Baru pada malam hari tanggal 1 Oktober, CIA di Jakarta mengirimkan laporan kepada Presiden Lyndon Johnson, yang pada intinya mengatakan bahwa apa yang terjadi sehari sebelumnya merupakan akibat dari masalah internal di dalam TNI AD. Mereka menyebutkan pula bahwa Letkol Untung --yang disebut sebagai seorang Muslim yang taat-- melakukan perbuatan terkutuknya, karena tidak suka dengan korupsi yang merajalela di kalangan atas TNI AD.

Juga di hari yang sama tanggal 1 Oktober, Menlu AS Robert MacNamara dan Wakil Menlu George Ball menyimpulkan dalam pembicaraan telepon mereka bahwa peristiwa 30 September itu merupakan langkah pertama dari kemenangan PKI. Mereka panik, dan sudah memerintahkan Kedubes di Jakarta untuk menyiapkan evakuasi.

Sedangkan analisis Dephan AS lain lagi, yaitu kudeta Untung merupakan manuver untuk menyelamatkan Bung Karno dari ancaman kudeta TNI AD. Memang pada bulan April 1965, Dubes Howard Jones (yang digantikan Marshall Green) bersama Kabid Politik Edward Masters sudah mewanti-wanti akan terjadinya kudeta itu ke Asisten Menlu Urusan Asia Timur, William Bundy.

Menurut rencana, kudeta militer itu akan dilancarkan saat Bung Karno sedang berada di luar negeri bulan Mei atau Juni. "Informasi tentang kudeta ini saya dapatkan dari salah seorang pemimpin dari kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh penfing sipil dan militer," kata Jones kepada Bundy.

Jones digantikan Green tanggal 24 Mei 1965. Keesokan harinya dari Bangkok, Jones sempat mengirim kawat ke Deplu AS yang isinya mengeluhkan lambatnya perencanaan kudeta itu.

"Tadinya (kudeta) itu akan dicetuskan saat Soekarno di luar negeri. Tetapi, ini tampaknya tidak akan bisa terjadi, karena orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak mampu bergerak cepat," tulis Jones.

Kalau asumsi Jones itu benar, berarti Untung mendahului rencana kudeta TNI AD, yang katanya akan dilancarkan tanggal 5 Oktober bersamaan dengan HUT ABRI.

"Banyak pertanyaan mengenai Untung. Banyak laporan yang mengatakan ia cuma boneka yang dikorbankan. Menurut sebuah sumber, ia seorang Muslim yang taat, yang muak dengan kemewahan dan korupsi yang dilakukan perwira-perwira tinggi," kata laporan CIA tanggal 6 Oktober.

"Jika ia cuma menjadi alat, lalu siapa yang merancang kudeta? Atau ada berapa rencana yang sudah diatur oleh berbagai elemen, yang akhirnya membuat situasi menjadi kusut?" lanjut laporan itu. Tetapi, yang pasti tidak kusut adalah hubungan mesra Washington dengan sejumlah jenderal TNI AD lewat Atase Militer AS di Jakarta, Kolonel William Ethel.

Sayangnya, menurut buku Hubungan Luar Negeri AS, ada beberapa dokumen penting yang tidak bisa diungkap (de-classified) yang bukan mustahil akan mengungkap lebih banyak lagi misteri tanggal 30 September. Ada tiga dokumen (nomor 180, 182, dan 221) yang sama sekali tidak bisa diungkap isinya, dan tiga lagi (nomor 167, 175, dan 181) yang sebagian isinya juga dilarang diungkapkan isinya.

"Larangan ini dibuat dengan alasan kalau dokumen-dokumen itu terungkap isinya, akan menguak tabir mengenai sumber-sumber dan metode-metode intelijen yang secara 'jelas dan demonstratif' akan membahayakan kepentingan-kepentingan keamanan nasional AS," kata pengantar buku itu.

Pada tanggal 13 Oktober 1965, Deplu AS mengirim kawat ke Kedubes di Jakarta. "Sudah saatnya kita menunjukkan isyarat-isyarat kepada militer tentang sikap kita. Kita bisa menarik keuntungan dari permintaan pembantu (Jenderal) AH Nasution, sekaligus memperhatikan tiga hal," kata kawat itu. "Pertama, kita belum mengetahui siapa yang berkuasa di militer. Contohnya, sekalipun tampaknya yang berkuasa adalah Nasution, namun Soeharto kelihatannya semakin keras dalam menghadapi Soekarno," lanjut kawat itu.

MESKIPUN masih belum yakin siapa yang berkuasa di TNI AD, namun Kolonel Ethel segera mengambil tindakan cepat dengan menyediakan peralatan komunikasi jenis Motorola P-31 untuk para jenderal pada tanggal 14 Oktober.

"Militer Indonesia juga sudah menyatakan ingin mendapat lagi peralatan untuk menjalin komunikasi dengan pulau-pulau lain," kata kawat itu lagi.

Pada hari-hari itu, AS masih memperhitungkan Bung Karno sebagat salah satu kekuatan politik terbesar selain TNI AD. Selain itu, AS sudah merasa lega karena mendapat laporan-laporan dari kontak Kolonel Ethel mengenai awal penangkapan tokoh-tokoh komunis di seantero Tanah Air. Pada dasarnya, PKI sebagai kekuatan politik sudah nyaris terkubur.

Di bukan Oktober dan November mulai masuk informasi ke Washington mengenai pembasmian komunis. Di Aceh dan Sumatera Utara, sempat ada istilah "banjir darah". Menurut estimasi Kedubes AS, setiap malamnya ada sekitar 50 sampai 100 anggota PKI yang dieksekusi di Jawa Tengah dan Jawa Timur "oleh orang-orang sipil antikommus yang direstui oleh TNI AD."

Laporan dari Konsulat AS di Surabaya menyebutkan pula ada 3.500 warga PKI yang dibunuh di Kediri dalam periode 4-9 November, dan 300 orang lagi di sebuah wilayah sekitar 30 kilometer dari Kediri. Di Bali ada 80.000 orang yang menjadi korban yang terjadi bukan cuma karena perseteruan antara massa PKI dengan PNI, tetapi juga karena dendam antarperorangan atau antarkeluarga.

"Secara bertahap Kedutaan akhirnya menyadari bahwa di Indonesia sedang terjadi sebuah pembasmian atas komunisme, dan pembunuhan itu juga didasari pada konflik antaretnis dan antaragama yang sudah tertanam dalam waktu yang lama. Banyak juga cerita mengenai pembunuhan itu sebenarnya agak dilebih-lebihkan," kata buku itu.

"Kamf tidak pernah tahu apakah jumlah korban mendekati 100.000 atau mendekati satu juta orang, dan akan lebih bijaksana jika kami mengakui jumlah yang lebih kecil. Sifat suka melebih-Iebihkan fakta, yang sudah menjadi soal biasa di Indonesia, juga kepentingan mereka yang terlibat pembunuhan itu, membuat sulit mereka-reka. Kebenaran sesungguhnya tidak akan pernah diketahui," kata Kedubes.

Seorang diplomat AS yang bertugas di Jakarta waktu itu, Richard Howland pada tahun 1970 pernah mencoba menggugat tiga persoalan yang menurut dia salah dipahami. Pertama, seolah-olah TNI AD menohok PKI karena dengan sebuah alasan aneh, yakni karena keterlibatan AS di dalam Perang Vietnam. Kedua, seolah-olah Cina komunis menjadi dalang terjadinya peristiwa 30 September 1965. Ketiga, seolah-olah jumlah korban PKI yang dibunuh mencapai 1,5 juta orang.

Howland mengakui, ia sendiri sebenarnya mengalami kesulitan yang luar biasa ketika menyidik berapa sesungguhnya korban PKI? Tetapi, ia juga yakin adanya sikap yang terlalu melebih-lebihkan fakta yang sebenarnya dari pihak-pihak di Indonesia sendiri. Salah satu sebabnya adalah karena "rasa kemenangan" dari kelompok-kelompok antikomunis dan antiwarga Cina.

Howland mengungkapkan pula, ia pernah mencari tahu dari seorang letnan kolonel TNI AD mengenai jumlah korban PKI. "Total korban adalah 50.000 di Jawa, 6.000 di Bali, 3.000 di Sumatera Utara. Saya tidak setuju dengan metode dia menghitung jumlah ini, namun jika dikombinasi dengan data yang saya miliki, jumlah yang mendekati kebenaran mungkin 150.000 korban," kata Howland.

Berapa jumlah korban yang sesungguhnya mungkin akan tetap menjadi misteri sampai akhir masa. Tetapi, dengan menjunjung rasa kemanusiaan semata-mata, pembasmian itu seharusnya diakui oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab, yang sepatutnya meminta maaf kepada saudara-saudara sebangsanya sendiri.

Dan, janganlah pernah terulang lagi pembasmian semacam itu. (bas)

Kompas
Minggu, 05/08/01

Tidak ada komentar:

Posting Komentar