Jumat, September 04, 2009

Panasnya Jakarta Menjelang Peristiwa 30 September 1965


KETUA PRESIDIUM --- Berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1966,
Presiden Soekarno menugaskan Letjen Soeharto selaku pengemban Tap MPR No IX/1966 untuk membentuk kabinet Ampera tanggal 25 Juli 1966.
Duduk di kanan Soeharto adalah Adam Malik

AKHIR bulan Juli Ialu Kantor Sejarah Deplu AS menerbitkan buku mengenai sejarah dan aktivitas diplomasi AS berjudul Hubungan Luar Negeri AS (2001). Salah satu isi terpenting buku itu ialah mengenai peranan AS menumpas PKI dan berbagai kelompok komunis lainnya di Indonesia setelah pecahnya peristiwa tanggal 30 September 1965.

DI dalam buku di ungkapkan sejumlah fakta yang menunjukkan komplotan antara para pejabat tinggi AS, mulai dari Presiden Lyndon Johnson sampai Kedubes AS di Jakarta bersama "kaki-tangan" di Indonesia dari kalangan sipil dan militer untuk menjatuhkan Soekarno. Sebetulnya bukanlah hal yang mengejutkan lagi bahwa buku itu kembali mengungkapkan keterlibatan Pemerintah AS pada saat sebelum, selama dan setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965. Dokumentasi yang tebalnya ratusan halaman --yang isinya merupakan komunikasi oral dan tertulis antara Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan Washington-- itu merinci berbagai peristiwa penting di Jakarta pada hari-hari bersejarah tersebut pada bab Kudeta dan Reaksi Balik: Oktober 1965-Maret 1966.

Keterlibatan AS itu ditunjukkan oleh inisiatif Dubes AS di Jakarta Marshall Green tanggal 5 Oktober 1965, atau hanya lima hari setelah pembunuhan para jenderal oleh pasukan Letkol Untung. Dalam kawatnya kepada Washington, Green menulis, "Secara rahasia kita mesti mengisyaratkan kepada orang-orang penting di TNI AD seperti Nasution dan Soeharto mengenai keinginan kita membantu sekuat tenaga. Kita harus menjaga hubungan kita dengan militer, kalau perlu malahan hubungan itu diperluas," tulis Green.

Selanjutnya, Pemerintah AS melalui kedutaan besarnya di Jakarta sejak peristiwa 30 September itu secara aktif membantu kelompok antikomunis menyuplai informasi dan peralatan militer untuk membasmi orang-orang PKI. Seorang staf Kedutaan Besar AS di Jakarta, Robert Martens, misalnya, mengakui, selama enam bulan ia mengumpulkan "beberapa ribu" nama pengurus teras PKI yang akhirnya menjadi sasaran penangkapan.

Sebelum peristiwa 30 September, tepatnya bulan Juli 1965, Washington memang sudah menyiapkan dukungan untuk menjual peralatan komunikasi militer untuk TNI AD senilai tiga juta dollar AS. Menurut diskusi yang terjadi di antara beberapa pejabat pertahanan dan luar negeri AS, penjualan tersebut dimaksudkan untuk menyaingi PKI yang kala itu menguasai sistem komunikasi intelijen yang cukup canggih untuk mengontrol Pulau Jawa.

Bukan cuma orang-orang militer saja yang memohon bantuan Green. Seorang tokoh sipil Orde Baru secara rutin menemui Dubes Green untuk menerima dana operasi pembasmian tersebut. "Kami memberikan dia Rp 50 juta yang dia minta untuk mendukung aktivitas gerakan Kap-Gestapu. Sejauh ini, aktivitas Kap-Gestapu penting bagi program TNI AD yang sangat sukses. Staf sipil kelompok ini yang dibentuk TNI AD masih sibuk menjalankan upaya-upaya represif terhadap PKI, khususnya di Jawa Tengah," demikian lapor Green kepada Deplu AS di Washington tanggal 2 Desember 1965.

MENGAPA buku ini sebetulnya bukan hal yang mengejutkan lagi? Sebab, sudah banyak sekali buku yang secara khusus menyorot keterlibatan AS di Indonesia sejak mereka membantu pemberontakan PRRI/Permesta, sampai saat AS membantu TNI AD untuk melenyapkan orang-orang komunis. Lalu kenapa AS begitu sangat berkepentingan untuk mempengaruhi berbagai peristiwa politik di Indonesia?

Jawabannya mudah, yaitu karena negara ini sangat vital dan strategis bagi kepentingan AS dalam rangka persaingan ideologis dan militer melawan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Bukan cuma operasi CIA saja yang merajalela di Indonesia, nyaris semua dinas rahasia negara-negara besar --seperti Uni Soviet, Cina, bahkan Jepang-- ikut meramaikan perang intelijen dan kontra-intelijen di sini.

Bagi Washington, situasi di Indonesia sudah kurang menguntungkan sejak keterlibatan mereka pada pemberontakan PRRI-Permesta. Bung Karno terlalu mandiri untuk dipengaruhi, apalagi setelah memutuskan Indonesia keluar dari PBB dan menggagas CONEFO, serta memelopori pembentukan poros Jakarta-Hanoi-Beijing-Pyong-yang.

Apalagi saat itu Bung Karno memegang kendali dalam perimbangan kekuatan antara TNI AD dengan PKI. Maka satu-satunya pihak yang bisa dimanfaatkan AS untuk menarik Indonesia dari magnet komunisme adalah TNI AD. Lagi pula, Washington sudah telanjur menjalin kontak dengan sejumlah tokoh sipil dan militer yang antikomunis yang menentang Bung Karno saat pemberontakan PRRI-Permesta. Alhasil, adalah wajar jika Washington berusaha sekuat tenaga untuk "memanfaatkan" TNI AD.

Secara terbuka. Presiden Johnson sebetulnya masih mengharapkan agar Soekarno tidak terlalu condong ke kiri. "Saya belum pernah bertemu dengan Soekarno dan ada kemungkinan kita memanfaatkan kunjungannya ke AS sebagai taktik untuk mengalihkannya dari orientasi politiknya. PKI pasti akan menentang rencana kunjungan ini dan akan melakukan apa pun untuk mencegahnya. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Soekarno melalui Dubes Jones bahwa saya siap menerima dia," kata Presiden Johnson kepada Deplu AS di awal tahun 1965.

Jones kemudian menyampaikan undangan itu. Ia memberikan jaminan kepada Bung Karno bahwa CIA tidak akan membunuhnya, bahwa AS dan Indonesia boleh-boleh saja "setuju untuk berbeda" (agree to disagree) sebagai sahabat, dan mengundanguya berkunjung ke Honolulu (Hawaii) untuk menemui Presiden Johnson.

Akan tetapi, Bung Karno sudah patah arang dengan sikap AS yang memang berulang kali mencoba membunuhnya lewat operasi rahasia CIA. Kepad Jones suatu kali di Istana Merdeka, Bung Karno secara terus terang mengungkapkan rasa sakit hatinya dan kecurigaannya terhadap intensi politik AS. Jones kemudian dipanggil pulang, mungkin dianggap gagal mendekati Bung Karno, lalu digantikan oleh Green.

Beberapa bulan sebelum 30 September 1965, hubungan bilateral sudah mencapai titik nadir. Sentimen anti-Amerika berkembang di mana-mana, termasuk penyerbuan terhadap beberapa properti AS di Jakarta, Medan, dan Surabaya.

"Pejabat dan warga Amerika di Indonesia semakin terisolir, kontak-kontak kita sudah menjauh. Rakyat Indonesia setiap hari mendengar propaganda-propaganda dari para pemimpinnya, dari radio dan pers tentang imperialisme Amerika," kata Green pada awal bulan Agustus.

Situasi politik di Indonesia saat itu memang sangat panas, sama panasnya dengan musim kemarau di Jakarta. Dan tak lama kemudian, datanglah hari yang menentukan pada tanggal 30 September 1965 itu...
(Budiarto Shambazy)
Kompas
Minggu, 05/08/01

1 komentar:

  1. 1965 in Indonesia is a Great Conspiracy from U.S.A via betrayers in army to falling and killing the nationalism

    BalasHapus