MENYAMBUT ajakan Mas Sulastomo (Kompas, 7/7/2001), kiranya saya dapat sedikit urun rembug untuk memberi penjelasan atas apa yang saya alami waktu itu tentang proses terjadinya Ketetapan (Tap) MPRS No XXXIII/ MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, secara yuridis konstitusional. Uraian tentang perkembangan politik pada waktu itu dalam masyarakat telah secara memadai ditulis saudara Sulastomo di dalam karangannya itu. Dan bila sekiranya masih perlu mendapatkan gambaran yang lebih jelas, buku Hari-Hari Yang Panjang karangan penulis yang sama akan dapat membantunya.
Tulisan ini, seperti saya nyatakan di atas, akan lebih menyoroti proses yuridis konstitusional terjadinya Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967 itu. Terlebih dulu perlu ditandaskan, Tap itu tergolong dalam ketetapan yang berlaku einmalig, "sekali selesai". Jadi bila ada tuntutan untuk mencabut Tap itu menjadi tidak ada gunanya. Bisa terjadi adalah akibat sosial dari Tap itu yang dianggap kurang tepat, dapat dikoreksi dengan Tap yang berisi rehabilisasi dan sebagainya.
Sebenarnya rehabilitasi terhadap seorang tokoh sejarah yang besar, tidak diperlukan hanya dalam aspek yuridis formal saja, dengan ketetapan, pengangkatan, dan sebagainya, tetapi juga dapat dengan cara pengakuan oleh masyarakat/rakyat akan kebenaran dan kepemimpinan tokoh itu secara riil. Ada kalanya orang .yang secara formal digelari "pahlawan'', tetapi oleh masyarakat/rakyat justru dianggap sebagai pengkhianat atau orang yang tidak pantas mendapat gelar formal itu.
TAP MPRS ini ditetapkan di dalam Sidang Istimewa (SI) MPRS 1967. SI itu diselenggarakan karena ada Resolusi DPR-GR mengenai Memorandum DPR-GR yang diprakarsai Nuddin Lubis dan kawan-kawan. Dalam memorandum itu, DPR-GR berpendapat, Presiden Soekarno dinyatakan telah melanggar haluan negara, yang meliputi semua kehidupan kenegaraan. Presiden Soekarno dianggap gagal di bidang ideologi Pancasila yang diselewengkan menjadi Nasakom, di bidang politik --baik luar maupun dalam negeri-- terjadi penyimpangan-penyimpangan, pembangunan di bidang ekonomi gagal dan situasinya morat-marit, demikian pula di bidang kehidupan sosial budaya dan sosial kemasyarakatan lainnya.
Maka dari itu, MPRS diminta untuk mengambil tindakan terhadap mandataris MPRS/ Presiden Soekarno (yang juga terkenal dengan sebutan Bung Karno). Maka dalam SI MPRS itu, setelah diadakan pembicaraan cukup panjang-lebar dapat disetujui untuk ditetapkannya Tap MPRS No XXXIII/ MPRS/1967 itu.
Perdebatan yang cukup seru adalah saat membicarakan Pasal 3, yang menyatakan: "Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum ..." Oleh Buyung Nasution pasal ini ditentang, sebab hal ini dianggap melanggar hak asasi manusia. Ada sementara pimpinan fraksi yang meminta agar Buyung Nasution jangan terlalu mengada-ada. Buyung Nasution tetap tidak bisa menerimanya, tetapi Tap ini berjalan seperti direncanakan dan disahkan. Ketika Tap ini disahkan pada Sidang Pleno MPRS, Buyung Nasution interupsi tidak setuju, menyerahkan secarik kertas dan meninggalkan sidang itu. Kejadian ini saya catat dan saya kenang.
Juga ada masalah lain yang menjadi pembicaraan agak bertele-tele, adalah ketidaksediaan Jenderal Soeharto (Pak Harto) untuk diangkat menjadi acting Presiden, Pejabat Presiden, yang nantinya menjadi Pasal 4 Tap itu. Pak Harto hanya bersedia menjadi Pemangku Jabatan (PJ atau PD dalam ejaan lama) Presiden (waarnemer).
Barangkali karena kesembarangan mencetak, maka dalam penerbitan-penerbitan yang dicetak untuk Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967 ini yang tertulis adalah "Pd" (ejaan lama) sebagai singkatan dari Penjabat Presiden (acting). Sehingga waktu itu, bagi kita, "PD" ini diartikan sebagai Penjabat Presiden (acting), sedangkan bagi Pak Harto berarti sebagai Pemangku Jabatan (Pemangku Djabatan, ejaan lama). Salinan lengkap Pasal 4 Tap itu sebagai berikut, "Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 sebagai Pedjabat (pakai ejaan lama) Presiden berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum".
Ketidaktelitian dalam penulisan juga pernah terjadi dalam penulisan naskah UUD 1945, yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Seperti, misalnya, pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tanggal 18 Agustus 1945, disepakati untuk disetujui usul anggota I Gusti Ktut Pudja agar kata-kata "Atas Berkat Rahmat Allah" pada alinea 3 dari Pembukaan UUD diganti dengan "Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa". Tetapi, di dalam pencetakan usul perubahan yang telah diterima itu tidak ditulis semestinya, tetap tertulis "Atas berkat Rahmat Allah" (Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Siguntang, 1971, hlm 406). Bahkan hingga kini pun tidak ada usaha untuk membetulkannya, termasuk dari Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR sekarang ini.
MENGAPA ada persoalan ini, tidak mau menjadi Acting (Penjabat Presiden)? Apa alasannya? Saya kira tidak ada orang yang tahu persis. Tetapi, apa boleh buat, rebat cekap, asal jadi dulu. Untuk mengatasi impasse yang ada.
Sebenarnya, kalau sekiranya tidak ada SI MPRS 1967, maka tidak ada Tap No XXIII/ MPRS/1967 itu. Tetapi, tidak berarti Presiden Soekarno tidak diturunkan dari kursi kepresidenan, sebab pada waktu itu, pada saat yang sama BP MPRS menyiapkan SI juga bertugas menilai Pelengkap Nawaksara seperti ditugaskan Sidang Umum (SU) MPRS 1966 dengan Keputusan MPRS No 5/ MPRS/ 1966 tentang Tanggapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/ Mandataris MPRS Di depan SU Ke IV MPRS Pada Tanggal 22 Juni Yang Berjudul: Nawaksara.
Dalam Keputusan MPRS itu dijelaskan bahwa pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara (sembilan persoalan) dianggap tidak lengkap, sehingga Presiden Soekarno diminta melengkapinya, dan BP MPRS diberi wewenang atas nama MPRS untuk menilainya.
Presiden Soekarno menyampaikan Pelengkap Nawaksara dan BP MPRS menilai dan menolaknya pula dengan Keputusan Pimpinan MPRS No 13/B/1967 tentang Penolakan Pidato Nawaksara. Jadi sebenarnya mengenai kedudukan Presiden Soekarno di tahun 1967 itu ditentukan, baik oleh penolakan Pelengkap Nawaksara oleh BP MPRS maupun oleh Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967.
UNTUK kepentingan bangsa dan negara menuju Indonesia Baru, adalah menjadi sangat relevan bila ada usaha untuk membetulkan naskah-naskah yang keliru, ataupun meluruskan pernyataan-pernyataan yang salah. Ini bukan untuk membuka luka-luka lama, tetapi untuk menjelaskan mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Dengan demikian memang amat kontekstual. Dengan demikian pula, kesalahfahaman atau kecurigaan-kecurigaan dapat dihilangkan, setidaknya diminimalisir.
Terkait dengan hal ini, adalah menjadi amat penting adanya penulisan biografi para pejuang kemerdekaan, pejuang HAM, pejuang keadilan, negarawan, ataupun ekonom, karena dari tulisan-tulisan itu masyarakat dapat belajar banyak mengenai arti hidup, menegara, maupun memasyarakat. Ada banyak kesulitan, tetapi pantas dicoba.
Harry Tjan Silalahi
mantan anggota MPRS/
salah satu peserta SI MPRS 1967
Kompas
Kamis, 02/08/01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar